Selasa, 01 Juli 2008

Antara Hidup-Mati
Melawan Kanker Otak
“Sungguh, yang saya rasakan ketika itu seakan sudah mendekati pintu kematian,” kenang Untung Waluyo Jati (57) mengingat derita yang dialaminya.
Derita itu diawali ketika tahun 2002 lalu dirinya merasa tidak enak badan. Kepala terasa pusing tak berkesudahan dan seluruh tubuh pegal-pegal. Dikiranya hanya sakit biasa, pijat dan puyer (sejenis obat berupa serbuk penghilang sakit kepala-red) pun menjadi santapannya.
“Dulu habis tiga sampai empat bungkus puyer setiap hari,” ujar bapak 3 putra itu. Setelah jalan beberapa waktu, sakitnya tetap saja terasa. Suatu hari, dari kedua lubang hidungnya keluar darah segar. Yang membuatnya sedikit merinding, darah yang keluar itu kental memanjang hingga 5 sentimeter.
Buru-buru keluarga warga Desa Cepor Rt.04/Rw.02, Sendang Tirto, Berbah, Sleman, DIY itu membawanya ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Dokter yang memeriksanya ketika itu menyatakan bahwa darah yang keluar itu hanyalah mimisan biasa.
Sesudah dirasa tidak ada lagi gangguan pada hidungnya, Untung kembali melakukan aktivitas sehari-harinya. Hingga pada suatu saat terasa ada gangguan lain dari panca inderanya. Kini, yang dirasakan pada kedua bola matanya mengalami gangguan penglihatan. Apa yang ditangkap oleh matanya tampak dobel, seolah-olah ada dua obyek yang dilihatnya.
Lantas ia pun memeriksakannya ke dokter. Kali ini RS Dr. Sardjito, Yogyakarta yang menjadi pilihannya. Dokter mata yang memeriksanya menyatakan tidak ada gangguan apapun pada penglihatannya. Dirujuklah ia ke dokter spesialis syaraf. Setelah menjalani pemeriksaan ternyata juga tidak ditemukan kelainan apa-apa.
“Saya ini sakit. Kok dibilang nggak ada apa-apa,” batinnya keheranan ketika itu. Sementara rasa sakit masih saja ia rasakan, upaya berobat tetap dijalaninya dengan penuh kesabaran.
Hingga pada akhirnya terungkap sudah apa yang menjadi sumber derita sakit yang dialaminya selama ini. Ketika dokter spesialis THT di RS Dr. Sardjito menyarankannya menjalani test USG (ultrasonography) apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya segera diketahui.
Dari hasil USG itu tampak terdapat benjolan di kepala bagian belakangnya. Dokter mengatakan benjolan itu adalah kanker otak. Langkah pengobatan medis mengharuskannya menjalani kemoterapi hingga beberapa paket untuk membunuh sel kanker yang ada pada tubuhnya.
Satu paket mengharuskannya menjalani kemoterapi sebanyak 5 kali. “Jadi, dulu tiap hari saya ke rumah sakit untuk di kemoterapi karena untuk rawat inap biayanya akan tambah banyak,” ujar pegawai kecamatan ini polos.
Sampai hari ke-3, ketika sampai di rumah tiba-tiba badannya terasa lemas hingga tak sadarkan diri. Segera ia dilarikan ke unit ICU RS Dr. Sardjito. Setelah menjalani perawatan, kembali ia dibawa pulang. Setiba di rumah kembali dirinya pingsan hingga sebanyak 5 kali berturutan.
Pihak keluarga dan tetangga Untung kalang-kabut dibuatnya. “Perasaan saya sudah antara hidup dan mati, Mas. Saya sudah pasrah pada Allah ketika itu,” ujarnya berbinar-binar. Harapan akan kembali hidup sehat seolah sangat tipis. Pasalnya, dokter yang memeriksanya menyatakan sudah angkat tangan sebab penyakit yang dideritanya tergolong penyakit berat.
Seluruh keluarga dekatnya dan para tetangga bergantian menunggui di rumahnya. Siang malam mereka juga turut mendoakannya agar mendapatkan jalan kesembuhan.
Ternyata benar, Allah memberikan petunjuk-Nya. Melalui salah satu kerabatnya disarankannya untuk datang ke Paguyuban Tri Tunggal. Singkat cerita, ia menanggapi positif saran itu. Beruntung sekali, Untung ketika itu langsung bisa bertemu dengan Sat Guru DR. Sapto Raharjo, S.IP.
Sembari menerapi Untung, Sat Guru menggunakan kesempatan itu untuk memberikan kawruh penanganan penyakit kanker kepada murid-muridnya.
Sekali ditangani Sat Guru, Untung langsung merasakan perubahan, rasa sakitnya berangsur sirna. Badannya tiba-tiba terasa lebih segar.
Guna lebih mengoptimalkan penyembuhan, ia lantas disarankan untuk transfer penyakit ke tubuh binatang. Proses transfer selesai, binatang itu disembelih, terlihat organ/jerohan binatang itu rusak. Ini berarti sari-sari penyakit yang ada di tubuhnya telah ditarik dan dipindahkan ke tubuh binatang itu. “Pada saat jerohan itu dilarung, seperti ada yang keluar dari tubuh saya. Sakit saya terasa makin berkurang,” kisahnya.
Sekarang ia bisa kembali menjalani kehidupannya dengan suka-cita setelah bertarung melawan ganasnya sel kanker yang bersarang di otaknya itu. Perjuangannya untuk mendapatkan kesembuhan tidak sia-sia.
“Saya merasa bersyukur bisa kenal Paguyuban Tri Tunggal. Terlebih kepada Pak Sapto. Meski pertama-tama saya tidak begitu yakin dengan cara penyembuhannya yang penuh gojekan. Namun nyatanya saya bisa sembuh dan ternyata gayanya yang seperti itu memang salah satu metodenya agar pasien tidak tambah stres dengan penyakitnya,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya Sabtu (9/2) lalu.
Tidak ketinggalan, bapak seorang anggota Gegana Polri ini juga menghaturkan terima kasih atas apa yang dilakukan oleh Sat Guru beserta murid-murid Paguyuban Tri Tunggal dalam upaya menghalau bencana di Yogyakarta.
“Semoga langkah-langkah Pak Sapto untuk menebarkan budi luhur selalu mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujarnya menutup perbincangan. (*)

Tidak ada komentar: